Seorang pemuda terlihat lesu, lemas, kusut
rambutnya, pandangannya tidak fokus duduk sebuah di sebuah bangku kecil di
pinggir kota. Dia tertimpa masalah yang berat dalam hidupnya. Dia merasa hidup
ini tidak ada gunanya. Inginnya mati saja.
Tak terasa matahari sudah mulai tenggelam,
seharian dia duduk di tempat itu. seorang sahabat dekatnya tak mampu berbuat
apa – apa. Ia hanya menyarankan pemuda itu menuju sebuah desa di ujung kota itu
untuk menemui seoaran pak tua yang bijak.
Ini adalah harapan terakhir si pemuda untuk
menyelesaikan masalahnya. Ia tidak lagi berpikiran jernih untuk menghadapi
masalah itu. ia setuju dengan saran temannya itu. ia memutuskan untuk menemui
pak tua itu. singkat cerita si pemuda sampai di ujung desa tempat pak tua bijak
itu tinggal. Suasananya sejuk, damai, dan tentram.
Tanpa membuang waktu, si pemuda menceritakan
semua masalahnya. Pak Tua yang bijak hanya mendengarkanya dengan seksama. Ia
tidak komentar sedikitpun mengenai masalah yang dihadapi si pemuda. Ia
mengambil segenggam garam dan segelas air. Ditaburkanya garam itu kedalam
gelas, lalu diaduknya perlahan.
“coba
minum air inim dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar pak tua itu.
“asin sekali, pahit....”, jawab si pemuda,
sambil meludahkan kesamping.
Pak tua itu hanya tersenyum. Ia lalu mengajak
si pemuda untuk berjalan ke tepi telaga di pinggir desa tempat tinggalnya.
Keduanya mulai berjalan menyisiri telaga, terus berjalan menuju tempat yang
sepi. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut pak tua. Pemuda itu hanya terus
mengikutinya di belakang. Karena penasaran pemuda itu menanyakan kemana mereka
akan pergi. Pak tua tidak menjawab ia hanya tersenyum dan kembali melanjutkan
perjalanan.
“Kita sudah sampai...” kata pak tua. Pemuda
itu merasa sedikit lega tapi heran kenapa pak tua mengajaknya ke sini. Pak tua
mengeluarkan segenggam garam kemudain menaburkanya di telaga. Dengan sepotong
kayu, untuk mengaduk telaga.
“sekarang, coba ambil air dari telaga ini dan
minumlah” perintah pak tua pada si pemuda. Setelah perintah dari pak tua
dilaksanakan kembali pak tua bertanya “bagaimana rasanya?”.
“Sangat segar” jawab pemuda itu. “apakah kamu
merasakan garam di dalam air itu?” tanya pak tua lagi. “tidak, saya sama sekali
tidak merasakannya”. Jawab si pemuda.
Dengan bijak, pak tua itu menepuk punggung si
anak muda. Ia mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di tepi telaga. Pak tua
mulai memberi pituah“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan yang kita rasakan
layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu
sama dan akan tetap sama sampai kapanpun.Tapi, kepahitan yang kita rasakan,
akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Hatimu adalah wadah itu,
perasaan mu adalah tempat itu. itu adalah tempat menampung segalanya”
Pemuda itu memeluk erat pak tua, sambil
berterima kasih. Ia sangat bahagia pikirannya muali terbuka. Keduanya beranjak
pergi meninggalkan telaga. Kehidupan pemuda itu muali berubah, ia selalu menanggapi
masalah dengan bijak sana. Tak gampang mengeluh dan selalu optimis.
Kepahitan itu akan sangat terasa pahit dan
membuatmu tersiksa manakala hanya di campur dengan segelas air. Beda halnya
ketik kau mencampurnya dengan air telaga yang sangat luas. Maka jadikanlah
hatimu seluas telaga ketika menanggapi sebuah masalah. Karena besar kecil
masalah itu tergantung bagaimana hati kita menanggapinya.
Pikiran kita sebagaimana sebuah parasut, berfungsi
hanya ketika terbuka.
By. Iwan Setiawan (ktr pdd) at. 21:40