Tulisan ini penting untuk semua orang, akan tetapi saya lebih senang kalau diantara para pembaca adalah seorang guru, pendidik, atau penyampai ilmu. Harapan besar pada mereka untuk bisa selalu “Santun Dalam Berbagi Kebaikan”, sehingga misi mereka akan berhasil tepat pada sasaran.
Selaku mahluk sosial yang selalu bergaul, pasti seseorang tidak lepas dari nasehat menasehati, baik di rumah, suami menasehati istri atau anaknya, ibu menasehati anak-anaknya. Dengan tetangga, disekolah, maupun di lingkungan masyarakat. menyampaikan kebaikan adalah berusaha sebaik mungkin agar seseorang menjadi paham. memberi pemahaman bukan dengan cara menghina seseorang, secara terang terangan mencela kekuranganya, tanpa konsep yang jelas mengumbar kebodohanya, memberi label yang jelek dan hal buruk lainya. Secara umum, bukankah yang sedang memahami kebaikan yang kita sampaikan adalah saudara kita juga?? Menebar kebaikan adalah usaha memberi solusi, Bukan urusan hujat menghujat, hina menghina, dan caci mencaci. Selaku penebar kebaikan yang baik, wajib mengetahui kepada siapa hujatan, hinaan, dan makian itu di tujukan. Bumi ini memang bulat dan tampak rata, tapi lihatlah kenyataanya ada dataran tinggi, ada jurang, ada sungai ada pula gunung. . .
Bukan hanya isi materi yang penting, cara penyampaian juga perlu di ilmui. Bila memukul paku dengan palu mudah saja "Tok tok tok" selesai perkara. Paku itu besi dan pada umumya kita tidak memikirkan perasaanya. Dengan kata lain, perlu tenaga yang kuat dan cara yang terbilang kasar untuk pekerjaan yang satu ini. Jika demikian bukan orang yang kita nasehati paham dengan yang kita maksud, yang ada mereka malah semakin menjauh dari kbaikan yang kita maksud. Menebar kebaikan tidak sama dengan cara diatas. Manusia punya hati, punya perasaan, serta punya harga diri, yang harus kita hormati juga.
Mari berbagi kebaikan dengan berahlak. Dalam hal saling berbagi kebaikan, optimalkanlah solusi, utamakan ahlak, menghargai perbedaan, serta beradap dan beradat. Bukan dengan cara lalai mengkaji kesalahan, dengan cara asyik berdebat, dengan cara saling menyalahkan dan sebagainya, sehingga waktu dan kesempatanpun habis berakhir tanpa solusi, yang ada hanyalah berujung perpecahan, saling benci dan permusuhanpun dimulai. Bila benih benih permusuhan sudah dimulai tertanamlah karakter berpikir ke-akuan, tidak mau mengalah, tinggi hati dan ahirnya pasti merasa diri adalah mulia, yang lain adalah Hina.
Sungguh, seorang pengemis jalanan tua renta lagi tak berpendidikan jauh lebih kita senangi nasehatnya dengan penyampaianya yang lembut daripada orang yang menganggap dirinya berilmu, berpendidikan tapi menyampaikan kebaikan dengan cara tidak sopan dan tidak santun.
Orang nonmuslim mempergunakan ilmu untuk menghancurkan kita, kita mempergunakan ilmu untuk bertikai satu sama lain. Sungguh mereka yang sedang santai duduk manis disana, yang memikirkan cara untuk menghancurkan kita, menatap dengan ilmunya tentang pertikaian kita.
Sungguh malang, disini seorang penuntut ilmu yang baik dihina oleh gurunya " disana orang belajar kemungkaran dipuji oleh gurunya.
berbagi kebaikan itu penting, dan hinaan, cacian, rasa benci, bukanlah bagian dari kebaikan.
Salam santun . . . .