Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu
Timah adalah tetangga kami. Dia salah
seorang penerima program Subsidi Langsung
Tunai (SLT) yang kini sudah berakhir. Yu
Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya.
Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding
anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan
status tanah yang di tempati gubuk Yu
Timah adalah bukan milik sendiri
Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan
kurus dan tidak menikah. Dia sebatang
kara. Dulu setelah remaja Yu Timah bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta.
Namun, seiring usianya yang terus meningkat,
tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran
pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung
kami. Para tetangga bergotong royong
membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya
yang sudah sangat renta. Gubuk itu
didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia
menampung anak dan emak yang sangat
miskin itu.
Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin
mandiri. Maka ia berjualan nasi
bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri
yang sedang mondok di pesantren kampung
kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu
Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup
bertahun-tahun.
Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya
sudah mengira pasti dia mau bicara
soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu
Yu Timah masih bisa menabung di bank
perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut
jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau
datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia
orang miskin dan buta huruf. Dia
menabung
Rp5.000 atau Rp10 ribu setiap bulan. Namun
setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa
setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan Saldo
terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.
Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan
dengan saya. Malah maunya
bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
”Pak, saya mau mengambil tabungan,” kata Yu
Timah dengan suaranya yang kecil.
”O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah
sore. Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila
Senin?”
”Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak
buru-buru.”
”Mau ambil berapa?” tanya saya.
”Enam ratus ribu, Pak.”
”Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?”
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk,
sambil tersenyum malu-malu. ”Saya
mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus
ribu saya tambahi dengan uang saya yang
di tangan, cukup untuk beli satu kambing.”
Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan
saya. Bahkan dia mengulangi kata-
katanya karena saya masih diam. Karena lama
tidak memberikan tanggapan, mungkin Yu
Timah mengira saya tidak akan memberikan uang
tabungannya. Padahal saya lama terdiam
karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah
membeli kambing kurban.
”Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan
diberikan sebesar enam ratus ribu. Tapi
Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu
Timah bahkan wajib menerima kurban dari
saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi,
apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat
hendak membeli kambing kurban?”
”Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar
ingin berkurban. Selama ini memang
saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya
ingin jadi pemberi daging kurban.”
”Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan
di bank kita.”
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria.
Matanya berbinar. Lalu minta diri,
dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah
pulang. Setelah Yu Timah pergi, saya
termangu sendiri. Kapankah Yu Timah mendengar,
mengerti, menghayati, lalu
menginternalisasi ajaran kurban yang
ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa
orang yang sangat awam itu bisa punya
keikhlasan demikian tinggi sehingga rela
mengurbankan hampir seluruh hartanya?
Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji
yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak
orangnya. Mungkin saya juga begitu.
Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum
naik haji, atau tidak akan pernah naik haji,
namun kamu sudah jadi orang yang suka
berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak
kau belikan makanan, televisi, atau pakaian
yang bagus. Uangmu malah kamu belikan
kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya
dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali
ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati
daging kambingmu yang sepertinya sudah
berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur
sebelum kamu naik haji.
Oleh : Ahmad Tohari
Shared By Kisah Penuh Hikmah